Kamis, 17 Februari 2011
Cinta yang Membelenggu
Tua itu pasti, dewasa itu pilihan..
Cinta yang Membelenggu
OPINI | 27 December 2010 | 10:25 21 0 Nihil
Setelah ijab-kabul diikrarkan, dua insan yang sudah terikat janji suci perkawinan akan membentangkan layar pertanda biduk rumah tangga mulai mengarungi lautan kehidupan. Setelah itu, cinta akan terlihat secara jujur, karena tidak ada tabir pembatas lagi bagi sepasang suami-istri dalam berinteraksi.
Itu berbeda dengan ketika cinta tidak berada dalam bingkai suci perkawinan, misalnya dalam pacaran, yang biasanya penuh kebohongan yang dibalut oleh kata manis yang membuai dan melenakan.
Dalam perkawinanlah cinta akan diuji seiring dengan berbagai ujian kehidupan rumah tangga, seiring pengetahuan akan kelebihan dan kekurangan pasangan, yang mungkin jauh dari harapan awal sebelum menikah.
Tentunya pula, cinta terhadap pasangan akan diuji apakah cinta tersebut cinta yang melahirkan kemaslahatan, cinta yang mencerahkan, ataukah cinta yang membelenggu.
Secara tidak sadar, terkadang cinta kita terhadap pasangan adalah cinta yang membelenggu, cinta yang membuat pasangan kita tidak bisa mengembangkan potensi kebaikannya secara optimal, cinta yang membuat pasangan kita terkungkung bahkan mungkin tertekan dengan rutinitas sehari-hari, cinta yang membuat pasangan kita surut semangat dakwahnya dibandingkan sebelum menikah, cinta yang membuat pasangan turun semangat ibadahnya, dan sebagainya.
Suami yang mengatakan kepada istrinya, “Mi, Abi sangat bahagia Umi begitu setia dan tidak pernah mengeluh dengan rutinitas sehari-hari sebagai ibu dan istri, tapi Abi akan sangat bahagia juga kalau Umi mau memanfaatkan ilmu yang dimiliki untuk kemaslahatan umat,” adalah suami yang sedang menebarkan cinta yang berenergi positif.
Seorang istri yang merelakan suaminya (seorang sahabat Rasul) berjihad di medan perang, padahal malam itu adalah malam pengantin baru, bahkan diriwayatkan sang suami belum sempat mandi jinabat, adalah istri yang memiliki cinta yang agung.
Istri yang tanpa lelah selalu mendorong suaminya berkarya dan berkarya, sehingga waktunya bermanja pada suami pun jadi terbatas, adalah istri yang menebarkan cinta yang sifatnya prestatif.
Ketika seorang istri ingin selalu diperhatjkan oleh suami, sehingga sepulang kerja si suami itu tidak boleh keluar rumah meski untuk sekadar berolahraga seminggu sekali; ketika seorang suami lebih suka minta istrinya di rumah saja, dan di sisi lain ia tidak suka istrinya menuntut ilmu untuk menambah wawasan; ketika seorang istri selalu minta suaminya berjamaah di rumah dengan alasan untuk menjaga romantisme kehidupan rumah tangga, padahal jamaah di masjid adalah sunah muakkad bagi laki-laki; atau ketika seorang ibu yang begitu cintanya kepada anak balitanya sehingga selalu melarang buah hatinya melakukan hal-hal baru (sebatas yang tidak berbahaya); ketika itu pula sedang berlaku cinta yang membelenggu, cinta yang berenergi negatif, dan cinta yang tidak konstruktif, melainkan destruktif.
Sederhananya, cinta kita seharusnya merupakan cinta yang secara optimal mampu menumbuhkan potensi kebaikan pada orang yang kita cinta.
Cinta yang Membelenggu
OPINI | 27 December 2010 | 10:25 21 0 Nihil
Setelah ijab-kabul diikrarkan, dua insan yang sudah terikat janji suci perkawinan akan membentangkan layar pertanda biduk rumah tangga mulai mengarungi lautan kehidupan. Setelah itu, cinta akan terlihat secara jujur, karena tidak ada tabir pembatas lagi bagi sepasang suami-istri dalam berinteraksi.
Itu berbeda dengan ketika cinta tidak berada dalam bingkai suci perkawinan, misalnya dalam pacaran, yang biasanya penuh kebohongan yang dibalut oleh kata manis yang membuai dan melenakan.
Dalam perkawinanlah cinta akan diuji seiring dengan berbagai ujian kehidupan rumah tangga, seiring pengetahuan akan kelebihan dan kekurangan pasangan, yang mungkin jauh dari harapan awal sebelum menikah.
Tentunya pula, cinta terhadap pasangan akan diuji apakah cinta tersebut cinta yang melahirkan kemaslahatan, cinta yang mencerahkan, ataukah cinta yang membelenggu.
Secara tidak sadar, terkadang cinta kita terhadap pasangan adalah cinta yang membelenggu, cinta yang membuat pasangan kita tidak bisa mengembangkan potensi kebaikannya secara optimal, cinta yang membuat pasangan kita terkungkung bahkan mungkin tertekan dengan rutinitas sehari-hari, cinta yang membuat pasangan kita surut semangat dakwahnya dibandingkan sebelum menikah, cinta yang membuat pasangan turun semangat ibadahnya, dan sebagainya.
Suami yang mengatakan kepada istrinya, “Mi, Abi sangat bahagia Umi begitu setia dan tidak pernah mengeluh dengan rutinitas sehari-hari sebagai ibu dan istri, tapi Abi akan sangat bahagia juga kalau Umi mau memanfaatkan ilmu yang dimiliki untuk kemaslahatan umat,” adalah suami yang sedang menebarkan cinta yang berenergi positif.
Seorang istri yang merelakan suaminya (seorang sahabat Rasul) berjihad di medan perang, padahal malam itu adalah malam pengantin baru, bahkan diriwayatkan sang suami belum sempat mandi jinabat, adalah istri yang memiliki cinta yang agung.
Istri yang tanpa lelah selalu mendorong suaminya berkarya dan berkarya, sehingga waktunya bermanja pada suami pun jadi terbatas, adalah istri yang menebarkan cinta yang sifatnya prestatif.
Ketika seorang istri ingin selalu diperhatjkan oleh suami, sehingga sepulang kerja si suami itu tidak boleh keluar rumah meski untuk sekadar berolahraga seminggu sekali; ketika seorang suami lebih suka minta istrinya di rumah saja, dan di sisi lain ia tidak suka istrinya menuntut ilmu untuk menambah wawasan; ketika seorang istri selalu minta suaminya berjamaah di rumah dengan alasan untuk menjaga romantisme kehidupan rumah tangga, padahal jamaah di masjid adalah sunah muakkad bagi laki-laki; atau ketika seorang ibu yang begitu cintanya kepada anak balitanya sehingga selalu melarang buah hatinya melakukan hal-hal baru (sebatas yang tidak berbahaya); ketika itu pula sedang berlaku cinta yang membelenggu, cinta yang berenergi negatif, dan cinta yang tidak konstruktif, melainkan destruktif.
Sederhananya, cinta kita seharusnya merupakan cinta yang secara optimal mampu menumbuhkan potensi kebaikan pada orang yang kita cinta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar